Cuaca akhir-akhir ini sangatlah panas, bahkan bisa mencapai suhu tertinggi dengan sampai 38 derajat dan terasa seperti suhu 42 derajat. Pantas saja, pada saat berkendara menggunakan sepeda motor, angin yang harusnya terasa sejuk, berubah seperti aliran panas. Fenomena ini bisa dirasakan hampir di seluruh Indonesia, bahkan belahan bumi lainnya. Apakah ada hubungannya dengan pemanasan global yang disebabkan penggunaan bahan bakar fosil?
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, munculah wacana untuk beralih dari energi fosil menuju ke energi terbarukan. Alasan utamanya adalah energi dari bahan bakar fosil terus-menerus berkurang, sedangkan cadangan yang dimiliki hanya mampu untuk bertahan dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksikan.
Selain itu, ternyata bahan bakar fosil yang selama digunakan menimbulkan dampak yang cukup luar biasa bagi pemanasan global. Penggunaan bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida yang memerangkap panas di atmosfer dan menjadi penyumbang utama pemanasan global. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil juga melepaskan gas metana yang dapat memerangkap panas 86 kali lebih kuat dari karbon dioksida. Bukan hanya karbon dioksida dan gas metana saja, ternyata bahan bakar fosil ini juga melepaskan oksida nitrat. Walaupun jumlahnya sedikit, namun oksida nitrat ini bisa menghasilkan efek rumah kaca sampai 300 kali lebih kuat memerangkap panas dan bisa bertahan dalam bumi sampai 116 tahun.
Banyak pertanyaan muncul dalam benak kita, misalnya penggantian bahan bakar fosil dengan energi terbarukan? Kemudian, apa saja rencana pemerintah dalam transisi energi ini? Bagaimana nasib dari masyarakat atau provinsi yang menghasilkan bahan bakar fosil atau dampak ekonomi sosial yang terjadi jika dilakukan perubahan energi tersebut?
Beruntung bisa menghadiri Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023 beberapa waktu lalu dan mendapatkan banyak jawaban dari para pembicara baik dari dalam maupun luar negeri.
Indonesia Sustainable Energy Week 2023 Membahas Transisi Energi Indonesia Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045
Dengan pemanasan global dan cadangan bahan bakar fosil yang semakin menipis, membutuhkan perubahan yang signifikan dalam perubahan menuju energi terbarukan. Indonesia memiliki banyak sekali energi alternatif yang bisa dijadikan sebagai energi terbarukan. Rencana perubahan energi dari energi fosil ke energi terbarukan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Rencananya Indonesia akan menuju capaian emisi nol persen atau NZE pada tahun 2060.
Dalam transisi energi ini Tahap I (2025-2029), dilakukan beberapa hal diantaranya penerapan penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) dan pengembangan energi terbarukan. Lalu bagaimana dengan penggunaan energi fosil? Energi ini masih digunakan dalam masa transisi, dipadukan dengan optimalisasi energi terbarukan. Saat ini sudah mulai marak kendaraan listrik yang tentu saja baik, namun harus didukung dengan teknologi serta sarana dan prasarana pendukung seperti charging station untuk baterai dan lainnya.
Adapun tahapan II (2030-2034) di antaranya tentang implementasi pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dan operasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama. Lalu, tahap III (2035-2039) di antaranya tentang pengembangan percontohan energi laut. Sementara pada tahap IV (2040-2045), transisi energi terkait perluasan sistem jaringan kelistrikan melalui interkoneksi dan smart grid.
Dengan tahapan tersebut, pada tahun 2060, Indonesia akan bebas emisi seperti yang direncanakan dengan berbagai energi alternatif dan terbarukan.
Transisi Energi Indonesia Dan Berbagai Permasalahan Seperti Ekonomi Sosial
Transisi Energi tentu saja membutuhkan waktu yang cukup panjang, apalagi target yang ingin dicapai pun nol emisi pada tahun 2060. Peralihan energi bukan hanya mengganti mobil berbahan bakar fosil ke mobil listrik saja, melainkan banyak tahapan yang harus dilakukan seperti membangun ekosistem yang berada dalam peralihan energi tersebut. Mengalihkan energi tentu saja berdampak pada ekonomi dan sosial terutama pada provinsi penghasil energi fosil seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.
- Dedi Rustandi, Coordinator for New Renewable Energy and Energy Conservation Sector, Directorate of Energy, Mineral and Mining Resources – Bappenas
- Timon Wehnert,Co-Head of Research Unit, International Energy Transition, Wuppertal Institute
- Regina Ariyanti, Head of Bappeda South Sumatera
- Yusliando, Head of Regional Development Planning Agency (Bappeda) East Kalimantan
- Ade Cahyat, Thematic Lead of Just Transition, GIZ
Selain itu, secara nasional, Provinsi Sumatera Selatan menduduki peringkat kedua dengan sumber daya batubara sebesar 36,86% dan cadangan sebesar 33,10%, disusul oleh Provinsi Kalimantan Selatan dengan sumber daya batubara sebesar 10,85% dan cadangan sebesar 11,70%.
Mengingat betapa besarnya penjualan energi fosil, seperti batubara, transformasi energi ini merupakan tantangan yang harus dilakukan dalam waktu dekat. Jalan keluar yang harus dilakukan adalah dengan melakukan beragam inovasi dan diversifikasi baik dalam ekonomi maupun sosial sehingga kesenjangan yang terjadi pada saat energi fosil mulai beralih menuju energi terbarukan atau energi hijau serta energi bersih.
Tindakan tertentu dapat diambil untuk mendukung transisi energi. Misalnya saja di bidang keuangan dengan mengusulkan rencana pemulihan keuangan yang mampu menarik investasi dan merangsang industri hijau. Ada juga banyak terobosan lain dalam pengembangan kebijakan, teknologi dan keterampilan.
Indonesia Merupakan Negara Kaya Sumber Energi Terbarukan
Patut dibanggakan karena Indonesia menjadi salah satu negara yang kaya Sumber Daya Energi melimpah di Dunia. Menurut data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan sebesar 3.686 GW, dibandingkan dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik yang terpasang hanya mencapai 81,2 GW. Dengan potensi Sumber Daya Energi tersebut, maka dapat dijadikan modal utama untuk melakukan transisi energi yang sudah dicanangkan dalam RPJPN 20 tahun mendatang.
Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) besar, terbesar dan beragam untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran EBT. Selain itu menurut Kementerian ESDM, Energi Baru Terbarukan telah dimanfaatkan sebesar 03,% dari total potensi sehingga peluang pengembangan EBT sangat terbuka, terlebih didukung isu lingkungan, perubahan iklim dan peningkatan konsumsi listrik per kapita.
Dari banyaknya potensi Energi Baru Terbarukan, pemanfaatannya masih jauh dari kata menggembirakan. Dari data diatas, dari total 3.686 GW hanya dimanfaatkan 12,54 GW saja, diantaranya :
- Dari potensi energi Surya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di wilayah NTT,Kalbar dan Riau sebesar 3.295 GW hanya dimanfaatkan sebesar 0,27 GW.
- Dari potensi energi hidro yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Papua sebesar 95 GW hanya dimanfaatkan sebesar 6,69 GW.
- Potensi energi angin di beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua sebesar 155 GW hanya dimanfaatkan sebesar 0,15 GW
- Dari potensi energi laut yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama Maluku, NTT, NTB dan Bali sebesar 60 GW dan belum dimanfaatkan sama sekali.
- Sedangkan potensi Panas Bumi ini tersebar pada kawasan Ring of Fire, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Setelah melihat betapa banyaknya potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia, maka sebetulnya dalam masa transisi energi ini tidak begitu sulit namun juga tidak semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kerjasama dan kerja bersama antara pemerintah, institusi dan masyarakat untuk bertransformasi dari energi fosil menuju ke energi Baru Terbarukan dan Pekerjaan Hijau.