Mudik
Siapa yang nggak mengenal kata tersebut. Mulai dari anak kecil, remaja dan dewasa pasti sangat familiar dengan kata tersebut. Namun, sebuah pertanyaan muncul, kapan kah kita mulai mengenal kata ‘mudik’ ini? sebuah pertanyaan yang sulit untuk menjawabnya. Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan mengunakan sebuah analisa yang sedikit logis. Mudik terjadi apabila seseorang mencari nafkah di kota-kota besar di Indonesia. Jika tidak terjadi hal demikian, mudik mungkin tidak akan se-familiar sekarang. Memang betul, tidak hanya perantau saja yang mudik, namun sebagian besar disumbangkan oleh perantau yang tinggal di kota-kota besar dan pulang ke kampuang halamannya.
Kapan kah mudik terjadi?
Mudik terjadi pada saat bulan puasa/Ramadhan dan mejelang hari raya Idul Fitri.
Apa yang spesial dari Mudik?
Yang spesial dari mudik adalah sebuah antusiasme atau rasa haus akan silaturahmi pada Hari Raya Idul Fitri yang menjadikan mudik terasa begitu spesial.
Pengalaman Mudik
Mudik dari tahun ke tahun merupakan sebuah keharusan bagi saya. Sebab, momen-momen seperti ini jarang sekali terjadi pada sepanjang tahun. Momen mudik pada saat Lebaran merupakan ‘sebuah keinginan besar untuk berkumpul dengan keluarga pada saat hari raya Lebaran’.
Jadi, mudik kali ini dan tahun-tahun sebelumnya sangat spesial tentunya.
Pengalaman saya ber-mudik ria sangat beragam. Mulai dari naik Bus sampai hampir 24 jam, buka puasa di Bus, sampai hampir sahur di Bus. Begitulah hal yang harus dilalui. Namun, itu terjadi beberapa tahun lalu, saat sata ber-mudik ria dengan mengunakan moda transportasi Bus.
Ini kisah ber-mudik ria dengan bus
Mungkin sangat dramatis kalo diceritakan. Ini mudikku 2 tahun yang lalu dengan bus. Saya memang berpandangan - pada saat itu- bahwa bus merupakan moda transportasi yang mumpuni dalam hal permudikan. Berbekal pengalaman yang lalu, saya bersikeras untuk tetap mengunakan moda transportasi bus.
Seperti biasa hari yang dijadwalkan yaitu H-2, saya sahur dan langsung menyiapkan diri untuk mudik dengan menggunakan bus. Saya menuju ke daerah Penjara Salemba. Tempat bernaungnya sebuah PO, yaitu Dedy Jaya. Saya sudah familiar karena memang sebelumnya saya kos di daerah penjara Salemba.
Seperti biasa dengan tampang yang agak awut-awutan karena mandi pun secukupnya dan ala kadarnya saya pun menuju ke penjual tiket.
Saya : Mba, ada yang AC ngga?
Mba yang lagi sibuk menulis kemudian tersadar akan kehadiran sosok yang mukanya ngantuk dan awut-awutan.
Mba : Ngga ada Mas adanya ‘ekonomi’.
Yes, penderitaan itu baru muncul sekarang. Ngga ada yang AC. adanya yang AC tapi KW alias Angin Cepoi-cepoi.
Saya : Okay Mba, satu ya. Pemalang.
Saya pikir daripada saya ngga bisa mudik, maka dengan sangat terpaksa saya memilih AC KW tersebut.
Saya duduk manis di dalam bus sambil menunggu semua penumpang masuk dan supir menjalankan mesinnya. Saya duduk dengan manis (memang saya manis kan - dikeplak pake sekop). Akhirnya bus pun berangkat. Bagaikan anak SD yang ikut karya wisata, saya berjingkrak dalam hati. Ini akan menjadi mudik yang menyenangkan walaupun dengan AC KW. Belum sampai jalan tol, seseorang di belakang saya menyalakan rokoknya. Bayangkan di dalam bus dengan AC KW dan ada orang yang meyalakan rokoknya, pastinya seperti Neraka saja.
Dan penderitaan itu pun belum berakhir rupanya. Memasuki tol dalam kota Jakarta yang mengarah ke arah bekasi, kendaraan pun mulai ramai dan kemudian secara dramatis bus pun mulai memelan. Artinya macet pun sudah terjadi dalam tol kota. Dalam hati pun berkata. Ini akan menjadi penderitaan yang tak akan berakhir. Namun, demi berkumpul dengan keluarga maka saya berusaha tersenyum walau kecut senyumnya (karena memang pakai AC KW).
Setelah hampir 8 jam, saya masih berada di Jawa Barat. seharusnya dengan estimasi 8 jam, saya sudah sampai di Rumah.
Saat jam 6 sore, saya masih berada di daerah Jawa Barat. Dengan berbekal pop mie yang dibeli, saya membatalkan puasa. Alhamdulillah, saya masih bisa buka puasa juga.
Baru pada jam 11 malam, saya mendapatkan tulisan yang terpampang adalah Tegal. Berarti tinggal satu kota lagi. Dan, akhirnya perjuangan itu pun berakhir pada jam 1 pagi. Begitu saya pulang ke rumah langsung di sambut dengan bunyi-bunyian pembangun sahur yang sering terjadi di kampung saya.
Mudik kali ini berbeda?
Ya, mudik kali ini memang berbeda dari tahun sebelumnya. Saya mengunakan moda transportasi kereta. Dengan kereta maka jarak tempuh bisa dikurangi karena kereta api memiliki jalur tersendiri sehingga bisa mengatasi kemacetan.
Berbekal pengalaman mudik tahun sebelumnya, maka saya memutuskan untuk pindah moda transportasi, yaitu kereta. Sejak terjadi perubahan sistem dalam pembelian tiket yaitu sistem pembelian tiket online dan pemeriksaan terhadap setiap calon penumpang kereta, moda ini sangat nyaman. Bahkan untuk kelas Ekonomi pun terdapat fasilitas AC yang menyenangkan tentunya.
Jadi, Pembelian tiket dapat dibeli 90 hari sebelumnya, dan dapat dibeli melalui web site KAI dan indomaret, alfamart serta instansi yang berkerja sama dengan KAI. Sangat mudah bukan? Saya pun telah membeli tiket dari 90 hari sebelumnya.
Dan, yang menjadikan kenyamanan selanjutnya adalah pemeriksaan identitas sebelum memasuki peron kereta. hal ini tentu sangat positif sekali mengingat beberapa tahun sebelumnya, kereta api sangat berjubel dengan penumpang dan tak nyaman.
Kali ini mudik sangat terasa menyenangkan. Saya pun menyaambutnya dengan gembira. Dalam kereta pun sangat nyaman. Saya telah membeli tiket kereta Menoreh jurusan Jakarta - Semarang.
Meskipun kereta Menoreh tersebut berangkat agak telat sekitar 15 menit-an. Namun, hal tersebut masih dalam toleransi waktu yang saya prediksi. Artinya saya bisa memakluminya. Walau pun memang diharapkan kinerja Kereta Api harus lagi ditingkatkan dengan ketepatan waktunya.
sumber : www.semboyan35.com
Alhamdulillah, sekitar pukul 13.30 WIB saya tiba di Stasiun Pemalang dengan selamat.
Ini Mudikku, Mana Mudikmu? Bagaimana ceritamu tentang mudik ke kampung halaman?